Jumat, November 19, 2010

Malaikatku Sewaktu Di Madrasah

Malaikatku Sewaktu DI Madrasah

Mata ku setengah sayup menahan kantuk
padahal adzan Maghrib berkumandang.
Dengan pandangan yang sedikit redup diisi
oleh makhluk mati yang mengisi ruangan
mengantarkanku kedalam memori masa lalu.

Bell madrasah yang menunjukan tanda waktu istirahat mengiringi gelak tawa para santri. Sebagian mereka ada yang bersenda gurau, jajan di kantin atau menikmati bekal makanan yang dibawa dari rumah bahkan ada juga yang masih duduk sendiri sambil membaca buku.
Aku?! Lihatlah dia…!!! Mata yang sipit agak-agak membesar, kulit yang putih kekuning-kuningan, dan senyum yang menggoda setia menghiasi. Bersama beberapa temannya dia bersenda gurau dengan tawanya yang penuh warna membuatku melupakan kotak nasi berisi mie instan dan sebongkah protein dari padi yang telah masak.

………………….CANTIK…………………

Koridor PxLxT mendapati belasan kursi panjang berwarna coklat tua yang terus mendampingi para santri untuk berbincang-bincang membahas para guru, pelajaran eksakta, dan sekali-kali mereka membahas tambatan hati yang seakan-akan tak mau kalah dengan eksistensi Irving Fisher.
Namun aku?! Kini dia sudah duduk di sampingku. Mulai membuka kotak nasi yang dia bawa dengan isi udang bakar, sayur hijau dan padi yang sudah masak tapi yang ini jauh lebih enak. Percakapan penuh perhatian dan kasih sayang bahkan melebihi toeri-teori manapun telah bercampur dalam darah. Persetan liberalisme, persetan sosialisme atau nilai ulangan yang semakin memerah. Sekotak nasi ini jauh lebih penting dibanding daun-daun yang berguguran dibulan Mei.
……………………INDAH……………………

Namun dia pergi meninggalkan kotak nasi yang belum usai, bahkan beranjak meninggalkan kursi panjang berwarna coklat yang biasa kami pijaki sebelum hujan dibulan mei tiba. Kini dia duduk di kursi panjang berwarna sama yang berada di ujung gedung tanpa kata apalagi suara.
Meninggalakan si brandal untuk berandal lain yang bernasib sama, terpesona akan keindahannya. Tanpa kata dan tanpa sapa terus melangkah meninggalkan udang, sayur dan nasi yang semakin membasi di dalam lambung untuk membuat kotak nasi baru yang akan diberikan kepada pecundang selanjutnya.

Dalam mata yang setengah sayup tak pernah bercerita dongeng seribu satu malam apalagi fabel yang jenaka atau kisah kancil yang mencuri timun. Cerita ini terus terpendam dalam dunia setengah sadar dan pacuan-pacuan langkah api kuda merah terus menjadi saksi.

2 komentar:

  1. Wah ada cerita bagus begini, kenapa nggak dimuat di Kompasiana mas... :)
    Ya udah saya vote inspiratif.... hehehehe

    BalasHapus
  2. thanx mas.......akh malu akh klo yg bginian sih

    BalasHapus

Jadilah Yang Pertama berkomentar